Lobi gedung bioskop di kawasan M.H. Thamrin, Jakarta, pekan lalu terlihat penuh sesak. Ketika itu sedang dilakukan tapping penyerahan anugerah Pahlawan Indonesia Masa Kini oleh sebuah stasiun televisi swasta nasional.
Ada sepuluh kandidat peraih anugerah itu. Masing-masing dibuatkan stan atau booth di kompleks gedung itu. Salah satu yang ramai adalah stan milik Meri Tabuni, perawat atau mantri di Wamena, Jayawijaya, Papua. Tepatnya, perempuan 80 tahun itu tinggal di Tagime, distrik di lembah pegunungan Jayawijaya.
Kiprah kepahlawanan Meri memang menarik perhatian pengunjung. Sayangnya, dia tidak begitu lancar berbahasa Indonesia. Dia harus dibantu cucunya, Dolly Tabuni, untuk menjelaskan perjalanan hidupnya yang berliku.
Menurut Meri, dirinya mulai merintis menjadi tenaga medis di pelosok pedalaman Jayawijaya saat masih berusia 30 tahun. "Kala itu, saya menjadi pembantu di sebuah peribadatan milik misionaris Belanda," ungkapnya.
Di rumah misionaris tersebut, Meri bekerja serabutan membantu seluruh persiapan untuk peribadatan. Bahkan, dia juga bekerja di klinik kesehatan milik misionaris itu setelah selesai di rumah peribadatan.
Dari situlah Meri mulai belajar menjadi perawat, profesi yang langka di daerah lembah Jayawijaya tersebut.
"Nenek saya benar-benar tidak tahu apa-apa saat itu. Beliau kan buta huruf, tidak bersekolah," kata Dolly, cucu pertama di antara delapan cucu Meri.
Ketika mulai diajari menjadi tenaga medis itu, Meri hanya bisa menggunakan bahasa adat suku Dani dan sedikit-sedikit bahasa asing yang sering diucapkan para misionaris. Dia menggunakan prinsip hafalan untuk mengenali obat tertentu guna mengatasi penyakit tertentu.
Dengan tekun mengikuti pelatihan hingga praktik langsung menangani pasien, dia akhirnya bisa menjadi tenaga medis. Bahkan, lantaran menjadi satu-satunya tenaga medis di kalangan suku Dani, tugas Meri merangkap-rangkap tugas sebagai perawat, bidan, sekaligus dokter. Tentu sulit dibayangkan. Apalagi, saat itu Meri masih buta huruf.
Menjadi tenaga medis dengan tiga peran sekaligus tidak lantas membuat kehidupan Meri berkecukupan. Dia tetap "melarat". Apalagi, dia bekerja di klinik swasta milik lembaga keagamaan. Dia tidak mendapat gaji layaknya seorang pegawai negeri. Dia hanya memperoleh "gaji" dari pemberian keluarga pasien atau masyarakat yang "mengasihani" dirinya. Itu pun tidak berbentuk uang, melainkan umbi-umbian dan sayuran.
Kendati begitu, Meri tidak memedulikan. Dia tetap bersemangat membantu masyarakat yang membutuhkan bantuan kesehatannya. "Yang penting, masyarakat senang dengan pelayanan nenek. Dan cepat sehat kembali," ujar Dolly.
Memang, lantaran kliniknya jadi laris didatangi pasien, Merisempat "dicemburui" para dukun adat. Sebab, sebelum ada Meri, setiap orang yang sakit selalu dibawa ke dukun. Termasuk orang yang hendak melahirkan.
Kehadiran Meri membuat intensitas praktik dukun di suku Dani menurun. Dia pun harus menjelaskan bahwa keberadaan dirinya tidak bermaksud ’’mematikan’’ job para dukun. Lama-kelamaan rasa cemburu itu hilang setelah para dukun tahu betapa tugas Meri berlainan dari kerja mereka.
"Nenek begitu telaten menjelaskan permasalahan ini, sehingga para dukun akhirnya bisa memahami," ungkap Dolly.
Hampir sebagian besar layanan kesehatan dilakukan Meri di rumah penduduk. Bukan di klinik milik misionaris yang kini sudah berubah menjadi puskesmas pembantu. Setiap ada warga yang sakit atau butuh pertolongan medis, Meri bergegas menuju rumah pasien dengan berjalan kaki. Kala itu belum ada kendaraan bermotor. Padahal, jalan yang ditempuh bisa sangat jauh.
Keberadaan Meri sebagai tenaga medis terlatih saat itu benarbenarmenjadi semacam oasis bagi penduduk setempat. Sebab, lokasi layanan kesehatan yang terdekat kala itu terletak di Kota Wamena yang jaraknya cukup jauh dari lembah Tagime. Ketika jalan sudah baik dan mulus saja dibutuhkan waktu 2,5 jam naik mobil untuk menuju Wamena.
"Saya tidak bisa membayangkan, dulu berapa lama perjalanan yang ditempuh nenek dari Tagime ke Wamena," ujarnya.
Selama puluhan tahun menjadi tenaga medis di desa terpencilJayawijaya, Meri mempunyai banyak kenangan tak terlupakan. Kenangan manis maupun pahit itu sering diceritakan kepada anak cucunya sampai sekarang. Salah satunya, saat terjadi konflik di Jayawijaya pada akhir 1970-an.
Menurut cerita Meri, saat Jayawijaya dilanda konflik antara separatis Papua Merdeka dan pasukan TNI, hampir seluruh penduduk menyelamatkan diri masuk hutan. Hanya orang-orang tertentu yang tidak mengungsi.
"Termasuk keluarga saya. Sebab, saya harus berjaga-jaga kalau ada warga yang terluka," katanya.
Dia pun ikut memobilisasi warga yang mengungsi di hutan untuk kembali ke rumah masing-masing begitu perang usai. Nah, saat itulah diketahui banyak warga yang terkena malaria. Meri pun menjadi orang yang sangat sibuk menangani pasien yang kondisinya memprihatinkan.
"Ilmu yang saya peroleh dari para misionaris betul-betul membantu saya menangani para pasien itu," tutur Meri.
Setelah mengabdi tanpa pamrih selama 27 tahun, Meri akhirnya diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) pada 1987. Dia pensiun pada 2009.
Pada akhir masa pengabdiannya sebagai pegawai pemerintah, Meri sudah tidak buta huruf. Menurut Dolly, neneknya sudah bisa membaca dan menulis, meski tidak selihai dirinya.
Walaupun sudah pensiun dan usianya sudah lanjut, Meri ternyata belum mau berhenti mengabdikan tenaganya untuk masyarakat. Di rumahnya, dia sampai sekarang tetap melayani konsultasi KB dan memberikan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat di desanya. Penyuluhan dilakukan di sela-sela aktivitas keagamaan di gereja. Materi penyuluhan yang gencar dikampanyekan, antara lain, bahaya HIV/AIDS.
Kini kiprah Meri dilanjutkan cucunya, Dolly, yang menjadi tenaga medis di puskesmas pembantu yang dulu menjadi tempat bekerja Meri. Dia dibantu tiga perawat. "Tapi, puskesmas kami belum ada dokternya," ujar Dolly.