Fashion Week Sebuah Warna Baru di Pakistan

Lupakanlah sejenak bom yang meledak di tanah Pakistan. Menolehlah ke Karachi. Di sana, untuk pertama kalinya, model-model cantik dan sensual ‘menantang’ Taliban.
Karachi, sepekan terakhir, seolah-olah berubah wajah. Dia bukan lagi kota tempat para militan melakukan aksi kekerasannya. Karachi berubah wujud menjadi Milan, Paris, London, atau New York.
Lihatlah di atas catwalk di sebuah sudut di kota Karachi, Pakistan. Para model berjalan di atas panggung, memamerkan koleksi dari desainer-desainer papan atas. Sebuah warna baru di Pakistan. Sebab, inilah pertama kalinya Pakistan Fashion Week digelar di negeri Muslim itu.
Tidaklah mudah menggelar acara yang berlangsung empat hari ini. Setidaknya, rencana pertunjukan fesyen ini sudah tertunda dua kali. Maklumlah, panggung model ini digelar di sebuah kota di mana tak ada jaminan keamanan. Para desainer dan model, juga penyelenggara, dihantui ketakutan dan kegelisahan. Ya, siapa tahu, di tengah lenggang-lenggok para model, bom meledak di tempat acara.
Pakistan Fashion Week digelar untuk menunjukkan kepada dunia wajah ganda Pakistan. Di sana tak hanya ada kekerasan. Tak hanya ada bom. Tapi juga ada sebuah pertunjukan fesyen yang pada akhirnya diharapkan bisa meningkatkan industri fesyen dengan tenaga kerja ratusan ribu orang.
Bagi para desainer dan model, acara ini adalah pukulan terhadap Taliban. Mereka hendak melawan cara pandang Taliban. Mereka ingin menunjukkan bahwa wanita tidaklah layak hanya dikurung di rumah, mengenakan kostum dan pakaian yang tak elok.
Dan, Ayesha Tammy Haq, CEO Pakistan Fashion Week, terang-terangan mengakui itu. “Ini adalah sikap pembangkangan terhadap Taliban. Betul, ada masalah mengerikan dengan militansi dan pergerakan politik. Tapi, itu tidak berarti bahwa negara ini harus tertutup. Tidak berarti bahwa bisnis harus berhenti,” katanya.
Ayesha Tammy dan pasukannya terhitung luar biasa berani menantang Taliban. Betapa tidak, mereka menggelar pertunjukan fesyen ini di Karachi, kota paling kosmopolitan di Pakistan. Mereka menyelenggarakannya di sebuah hotel berbintang lima di samping konsulat Amerika Serikat.
Padahal, di sini pula, tujuh tahun lalu, bom dijatuhkan Taliban. Lokasi ini hanya berjarak tempuh dua jam pesawat udara dari jantung Al Qaeda dan Taliban. Bayangkan pula jika dalam sebulan terakhir, kekerasan demi kekerasan terjadi di Pakistan.
“Itu adalah sisi buruk yang dilihat semua orang tentang Pakistan. Padahal, (Pakistan) tidaklah seburuk itu. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi,” ujar Nadia Hussain, seorang model top Pakistan. Saat dia bicara, para penata rambut dan make-up sedang meriasnya di belakang panggung.
Karachi tampaknya memang memiliki wajah ganda. Sementara kebanyakan dari 12 juta warganya hidup di wilayah miskin dan kumuh, mereka yang kaya menikmati kehidupan di kafe dan restoran. Gaya hidup seperti ini menarik pula kebanyakan pria dan wanita muda. Mereka bisa nongkrong sampai dinihari dan mengenakan pakaian kebarat-baratan.
Dalam kondisi negara yang penuh kekerasan, tidaklah mengherankan jika Pakistan Fashion Week tak menarik minat desainer atau pembeli luar negeri. Lagi pula, pihak penyelenggara memang tidak mengundang mereka mengingat tak ada pula jaminan keamanan bagi pihak asing tersebut.
“Siapa pula yang mau datang ke sini dengan kejadian-kejadian negatif seperti itu? Mereka yang ada di sini pun bahkan sudah hengkang,” kata desainer muda, Tabassum Mughlal.
Ironis? Bisa jadi. Tapi, itulah bentuk perlawanan para desainer lokal itu. Bayangkan, tekstil adalah kekuatan utama ekspor Pakistan selama ini. Sekitar 60% ekspor Pakistan berasal dari tekstil dengan nilai US$12 miliar setahun. Katun dan sutra Pakistan termasuk salah satu yang terbaik di dunia. Tapi, dalam beberapa tahun ini, industri tekstil tak bisa berkembang karena kekacauan politik, kekerasan, dan sulitnya daya listrik.
Industri fesyen hanyalah bagian kecil dari ekspor tekstil Pakistan. “Kami masih mengerjakan bisnis baju kaus seharga US$30 selusin. Tak ada nilai tambahnya. Padahal, kami mempekerjakan jutaan orang, bukan lagi ratusan ribu,” kata Ayesha Tammy.
Para desainer, pada Pakistan Fashion Week ini, menghadirkan campuran gaya pakaian. Beberapa di antaranya muncul dengan pakaian tradisional Pakistan, sementara sebagian lainnya hanya menyisakan sedikit, bahkan tak membawa estetika tradisional sama sekali. Dalam negara di mana hampir seluruh wanita mengenakan kostum tradisional, yang muncul di atas panggung terlalu ‘panas’ untuk selera lokal.
“Ini bukan representasi siapa kami sebagai manusia. Hanya 0,001 persen wanita Pakistan yang akan mengenakan pakaian-pakaian seperti ini. Hanya orang-orang dengan pikiran yang tak terkontol (yang akan mengenakan),” ujar desainer Ayesha Tahir Masood.
Toh, sebagai simbol, Pakistan Fashion Week dianggap cukup berhasil. Setidaknya, mereka membuktikan bahwa Pakistan tak hanya kekerasan. Setidaknya, mereka mampu menunjukkan perlawanan terhadap kekerasan Taliban.

comment 0 comments:

Posting Komentar

 
Powered by Blogger